BeritakanID.com - Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, Kejaksaan dianggap tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi (Tipikor). Yang berhak menangani kasus Tipikor hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian sesuai peraturan yang ada.
Hal itu disampaikan dosen hukum pidana Universitas Wisnuwardhana Malang, Sigit Budi Santoso yang menyoroti soal kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik Tipikor sejak 2015 lalu melalui jurnal berjudul "Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidikan Tindak Pidana Korupsi".
Kepada RMOL, Sigit mengatakan bahwa jurnal tersebut saat ini masih relevan, karena dalam UU Kejaksaan yang terbaru, yakni UU 11/2021, tidak ada kewenangan Kejaksaan menangani Tipikor.
Sigit menjelaskan, awalnya Kejaksaan memang memiliki kewenangan melakukan penyidikan Tipikor. Di mana, pada UU 15/1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI pada Pasal 2 Ayat 2 UU Kejaksaan 15/1961 menyatakan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara.
Hukum acara pidana yang berlaku pada saat itu kata Sigit, adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik juga diatur dalam UU 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tipikor.
Dalam perjalanan waktu, kata Wakil Rektor III Universitas Wisnuwardhana Malang ini, UU Tipikor nomor 24/Prp/1960 diganti dengan UU 3/1971 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam UU itu, Kejaksaan juga masih memiliki kewenangan sebagai penyidik Tipikor.
Seiring berjalannya waktu, diundangkan KUHAP pada 1981 yang menyatakan tidak berlakunya ketentuan-ketentuan dalam HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana. Bahkan, KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan pejabat Polri atau PNS tertentu dengan fungsi penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim yang dijalankan oleh Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 6 KUHAP.
"Dengan demikian, jelaslah bahwa Jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai penyidik, karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan," kata Sigit kepada redaksi, Jumat (27/9).
Kemudian pada, 1991 kata Sigit, diundangkan UU Kejaksaan yang baru, yakni UU 5/1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU Kejaksaan baru itu menegaskan fungsi jaksa sama seperti fungsi jaksa dalam KUHAP, yaitu sebagai penuntut umum.
Pada Pasal 1 Angka 1 UU Kejaksaan 5/1991 menegaskan, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum, serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian kata Sigit, berdasarkan UU Kejaksaan 5/1991, jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik, dan oleh karenanya kewenangan Jaksa sebagai penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan 3/1971 haruslah dianggap tidak ada lagi.
Selanjutnya pada 1999, diundangkan UU Tipikor baru, yakni UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam UU itu, sesungguhnya sudah menegaskan bahwa jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU 31/1999.
Akan tetapi kata Sigit, persoalan kewenangan itu menjadi rancu kembali dengan adanya ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Tipikor 31/1999. Karena kedua pasal itu sebagian orang menafsirkan bahwa jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik Tipikor.
Pada Pasal 27 UU 31/1999 menyatakan, dalam hal ditemukan Tipikor yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Dan pada Pasal 39 UU 31/1999 menyatakan, Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Namun pada Penjelasan Pasal 27 UU Tipikor 31/1999 menyatakan, yang dimaksud dengan Tipikor yang sulit pembuktiannya antara lain Tipikor di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang bersifat lintas sektoral, dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, atau dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana ditentukan dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Mengkoordinasikan di sini sesuai arti kata asalnya adalah mengatur secara baik agar lebih terarah, namun tidak melakukan penyidikan itu sendiri," jelas Sigit.
Selanjutnya pada 2002, diundangkan UU KPK nomor 30/2002. Di mana pada salah satu Pasal di bagian ketentuan penutup, yakni Pasal 71 Ayat 1 UUD KPK 30/2002 menyebutkan bahwa UU sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
"Bahkan kewenangan Jaksa Agung untuk mengkoordinasi, itu kan dihapus dengan UU KPK dinyatakan tidak berlaku. Jadi, mana sisanya yang beri kewenangan Jaksa? Nggak ada," tegas Sigit.
Di mana pada Pasal 42 UU KPK 30/2002 menyatakan, KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Kemudian pada 2004 keluar UU Kejaksaan yang baru, yakni UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI. UU Kejaksaan ini memberikan lagi kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan. Namun, juga tidak disebutkan bahwa Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan Tipikor.
"Sekalian UU Kejaksaan 16/2004 memberikan kewenangan kepada jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu berdasarkan UU, namun analisis secara yuridis normatif pada uraian-uraian sebelumnya telah membuktikan bahwa sejatinya jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Mestinya untuk korupsi yang berwenang adalah KPK dan Polri, Kejaksaannya sudah enggak," pungkas Sigit.
Sumber: rmol