BeritakanID.com - Guru besar IPDN sekaligus mantan Dirjen Otda Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan, mengatakan pada hakikatnya undang-undang tidak 100 % hak DPR. Presiden berhak menolak. Presiden lewat menteri-menterinya boleh tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahas bersama.
“Bahkan, walau suatu RUU sudah diketok dalam rapat paripurna DPR, Presiden bisa memvetonya dengan tidak menandatangani RUU itu menjadi UU dalam tempo 30 hari. Mengapa? Karena UU itu menabrak konstitusi,’’ kata Djohermansyah kepada KBA News, Sabtu pagi 24 Agustus 2024.
Presiden wajib memegang teguh konstitusi sesuai sumpah jabatannya. DPR nyata sekali telah keblinger dalam membuat RUU Perubahan Keempat Pilkada. Pakemnya selama ini putusan MK yang final dan mengikat wajib diakomodasi bila dilakukan perubahan UU.
“Tidak pernah ada sejarahnya DPR melawan putusan MK. Lebih-lebih masa jabatan anggota DPR ini tinggal 40 hari, karena tanggal 1 Oktober 2024 sudah dilantik anggota DPR baru periode 2024-2029,’’ kata Djohermansyah yang juga mantan Kepala Biro dan Humas KPU RI.
Ditegaskannya, Putusan MK No 60 Tahun 2024 yang mengubah ambang batas pencalonan peserta pilkada oleh partai politik dan gabungan partai politik, dan putusan MK No 70 Tahun 2024 yang menegaskan syarat usia minimal calon kepala daerah/wakil kepala daerah dihitung sejak kandidat ditetapkan oleh KPU, bukan sejak pelantikan calon terpilih, dibangkangi oleh DPR.
“Mereka dalam keputusan tingkat pertamanya tidak menaati kedua putusan pengadilan konstitusi (constitutional court) tersebut yang padahal sangat besar manfaatnya dalam mengatasi berbagai persoalan terkait Pilkada. Ini misalnya adanya calon tunggal sehingga pasangan calon bakal tak melawan kotak kosong. Selanjutnya soal boikot rakyat untuk tak memilih tak terjadi, dan perhitungan penetapan usia minimal calon dalam pilkada konsisten dengan pilkada, pilpres dan pileg, yaitu waktu penetapan pasangan yang selama puluhan tahun berlaku dipayungi UU,’’ ujarnya lagi.
Sehingga, tegas Djohermansyah, bila sampai DPR tetap nekat menolak memakai putusan MK, maka, pemerintah yang bijak wajib hukumnya mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan kelompok dan golongan. ‘’Sebab kini di balik itu semua apa yang dilakukan DPR sudah tampak kasat mata tujuannya adaah melaukan penghadangan Anies Baswedan maju di DKI Jakarta walaupun paling tinggi elektabilitasnya lewat siasat KIM Plus. Ini mereka lakukan dengan‘’Maka DPR kemudian berusaha menyusun alasan hukum agar dapat memborong hampir semua partai politik untuk mencalonkan Ridwan Kamil-Suswono. Apa lagi tindakan mereka juga tampakdemi interes pribadi presiden seperti ditenggarai dari kasus pencalonan putra Jokowi Kaesang sebagai Wagub Jawa Tengah,’’ kata Johermansyah.
“Maka jalan keluar yang baik, pemerintah melalui surat presiden menolak melanjutkan pembahasan RUU Perubahan Keempat Pilkada dalam pengambilan keputusan tingkat kedua pada paripurna DPR. Bila DPR tetap ngotot menggelar rapat pleno yang berpotensi kisruh baik karena Fraksi PDI-P melawannya, dan publik menghadangnya, pemerintah masih punya alternatif untuk tidak menandatangani RUU itu menjadi UU,’’ tegasnya kembali.
Namun, memang paling afdhol bila perubahan keempat UU Pilkada dilakukan nanti oleh pemerintahan baru Presiden Prabowo, bukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi yang segera akan tutup buku, dengan memperbaiki sistem dan proses penyelenggaraan pilkada kita secara komprehensif. Apalagi juga ada puluhan masalah krusial pilkada yang perlu diperbaiki. ‘’Masalah itu seperti: pilkadamahal, politik uang, mahar partai politik, politik dinasti, politisasi birokrasi, pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya, korupsi kepala daerah, pembiayaan pilkada yang menguras APBD, syarat calon perseorangan, pengawasan Bawaslu yang mandul, dan lain-lain.”
“Jadi, DPR tidak dapat merubah UU Pilkada hanya untuk menjawab kedua putusan MK, dan dibuat hanya tujuh jam saja, tanpa partisipasi publik yang bermakna. Lengkap cacatnya, baik formil maupun materiil,’’ tandas Johermansyah Djohan.(*)