MK Tolak PHPU Pilpres 2024, Todung Mulya Lubis: Demokrasi Indonesia Berada dalam Kegelapan

MK Tolak PHPU Pilpres 2024, Todung Mulya Lubis: Demokrasi Indonesia Berada dalam Kegelapan

BeritakanID.com - Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 dari pasangan calon (paslon) nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, menjadi pertanda demokrasi Indonesia berada dalam kegelapan.

Hal itu, disampaikan Ketua Deputi Hukum Ganjar-Mahfud, sesuai menghadiri Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyampaikan putusan terkait perkara PHPU, di Jakarta, Senin (22/10/2024).

“Kalau ditanya kecewa, ya saya pribadi tentu merasa kecewa, karena saya sendiri punya ekspetasi MK akan membuat terobosan, karena masa depan demokrasi dan konstitusi kita butuh terobosan, bahkan saya tadi menyebut hari ini menjadi tonggak sejarah pemilu di Indonesia,” kata Todung.

Dia menyampaikan keprihatinan terkait putusan MK yang menolak seluruh permohonan Paslon 3 karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. Padahal ada fakta-fakta dan pembuktian yang memperkuat dalil yang diajukan.

Hal itu, lanjutnya, sekaligus menunjukkan bahwa MK tidak mempertimbangkan masukan dan pandangan tokoh masyarakat dan akademisi bahkan mahasiswa yang prihatin dengan penyelenggaraan Pemilu 2024.

“Anda bisa bayangkan ribuan akademisi dan tokoh masyarakat memberikan Amicus Curiae kepada MK. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mengganggu dan meresahkan publik bahwa demokrasi Indonesia berada dalam kegelapan,” ujar Todung.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, sampai turun tangan menulis amicus curiae kepada MK karena menilai demokrasi Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

“Seorang Megawati sampai turun gunung menulis amicus curiae, itu menunjukkan bahwa ada yang salah dengan negara ini, ada yang salah dengan demokrasi kita,” ungkap Todung.

Meski demikian, Todung mengatakan MK sudah membuat putusan dan harus dihormati. Hal itu, bukan berarti perjuangan untuk memperbaiki demokrasi Indonesia akan berhenti.

Tidak Absolut
Todung menyampaikan menerima putusan MK dengan beberapa catatan yang harus diperjuangkan untuk menegakkan demokrasi Indonesia ke depan dan menjamin Pemilu berlangsung jujur dan adil.

Menurut Todung, keberadaan 3 hakim MK yang memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan PHPU mengandung makna bahwa kemenangan Paslon 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tidak absolut.

Adapun ketiga hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion, yakni oleh Hakim Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

“Ini kalau bicara 3 hakim MK banding 5, maka putusan ini tidak memberi mandat penuh kepada Prabowo-Gibran dalam kemenangan mereka di Pilpres 2024. Jadi kemenangan mereka tidak absolut,” tutur Todung.

Dia mengungkapkan, ada catatan-catatan dari 3 hakim, yang menyoroti aspek jujur dan adil, pelanggaran etika, pelanggaran prosedur dan pelanggaran administratif dalam persoalan pemilu 2024.

Selain itu, ada pula catatan mengenai penyaluran bansos yang mekanismenya harus diperjelas. “Tadi Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih mengatakan perlu ada aturan yang komprehensif mengenai penyaluran bansos agar tidak menjadi alat kekuasaan yang dapat menguntungkan calon tertentu,” kata Todung.

Catatan tersebut, lanjutnya, menggambarkan pendapat hakim MK memperkuat dalil yang disampaikan Paslon 3 dalam permohonan PHPU Nomor 2 mengenai cawe-cawe Presiden Joko Widodo dan menteri Kabinet Indonesia Maju jelas menguntungkan Paslon 2 di Pilpres 2024.

Dia mengungkapkan, ada juga catatan tentang penyelesaian perkara pemilu terkait pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) di MK yang dibatasi waktunya hanya 14 hari.

“Ke depan ini harus diubah oleh pembuat Undang-Undang, karena MK dibatasi dengan waktu yang pendek untuk mengadili perkara sengketa pemilu. Padahal pembuktian pelanggaran TSM butuh waktu yang cukup panjang,” ujar Todung.

Selain itu, Tim Hukum Ganjar-Mahfud juga mencatat pendapat hakim MK bahwa pemilu harus terselenggara secara equal bagi peserta pemilu.

“Harus ada kesetaraan posisi antar setiap paslon. Sehingga segala bentuk dukungan dari kekuasaan terhadap calon tertentu tidak diperbolehkan. Ini yang menjadi catatan kami untuk para pembuat UU untuk bisa mengatur hal ini di UU Pemilu,” ungkap Todung. (kba)

Sumber: kba

TUTUP
TUTUP