BeritakanID.com - Mulyadin Permana, Sekjen PeranNU turut merespons putusan DKPP yang menyatakan bahwa Ketua KPU Hasyim Asy’ari terbukti melanggar kode etik terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Seharusnya, kata dia, hal tersebut diikuti oleh protes yang massif dari seluruh rakyat supaya pasangan Prabowo-Gibran didiskualifikasi dari Pilpres 2024.
“Menurut saya, seharusnya DKPP langsung memberikan putusan progressif sebagai klausul pelanggaran etik yang dilakukan oleh KPU supaya tidak ada kebingungan secara hukum dan secara politik,” katanya saat dihubungi KBA News, Selasa, 6 Februari 2024.
Ia menyampaikan, putusan DKPP menegaskan bahwa ada pelanggaran dan kesalahan prosedur penetapan Gibran sebagai cawapres. Begitu juga putusan Majelis Kehormatan MK yang secara tegas mengindikasikan ada pelanggaran prosedur penetapan syarat umur yang meloloskan Gibran sebagai cawapres.
“Ketika ada cacat prosedur, tapi kandidatnya masih berlaga, bukan kah itu sebuah keanehan. Calon yang lolos dengan pelanggaran prosedur kok terus dibiarkan bertanding. Ini masalah hukum dan demokrasi yang sangat serius,” jelas calon doktor dari Universitas Indonesia (UI) itu.
Secara hukum, lanjut dia, masalah cacat prosedur di MK dan KPU ini menandakan bahwa tata hukum kita tidak siap dengan adanya persoalan seperti ini.
Ada celah yang seharusnya tidak boleh dibiarkan. Harus ada kepastian hukum jika pelanggaran seperti ini terjadi, harus bisa diantisipasi, dan bisa ditanggapi secara cepat, tepat, dan adil.
“Jika tidak, maka secara politik semuanya bingung. Lembaga negara bingung mau berbuat apa, masyarakat lebih bingung lagi karena disodorkan untuk memilih Paslon capres-cawapres yang cacat prosedur,” katanya.
Menurutnya, pelanggaran prosedur hukum dan politik seperti ini tidak boleh hanya diserahkan kepada rakyat untuk menentukan pilihan, memilih atau tidak.
“Harus fair play, pemain yang tidak pantas bermain, ya tidak boleh masuk lapangan pertandingan. Tiba-tiba nanti Paslon 02 menang, pihak/kelompok masyarakat yang tidak terima melakukan penolakan, dan kemudian terjadi chaos. Ini bahaya sekali,” jelasnya.
Menurutnya, sejalan dengan pernyataan banyak kalangan akademisi dan professor dari berbagai kampus tentang penyimpangan demokrasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, maka para mahasiswa dan masyarakat seharusnya menindaklanjuti dengan protes yang lebih massif.
“Protesnya sekarang, jangan protesnya nanti kalau sudah pemilihan dan ternyata Paslon yang cacat prosedur menang Pemilu. Sekarang protesnya masih bisa baik-baik, yang melanggar masih bisa dihentikan dan masih bisa didiskualifikasi. Nanti kalau sudah menang, protesnya kemungkinan bisa berbeda, bisa anarkis dan terjadi chaos, yang seharusnya tidak perlu terjadi,” katanya.
Ia pun mengingatkan bahayanya ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat pada hasil Pemilu yang terindikasi cacat prosedur. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Ini tanggung jawab kita semua untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Semua institusi/lembaga negara terkait harus mengambil langkah yang tepat dan adil. Rakyat harus diberikan jaminan keadilan dan kepercayaan dalam pesta demokrasi ini. Juga, harus ada jaminan bahwa pemerintah, presiden, dan seluruh penyelenggara negara tidak terlibat melakukan pelanggaran dan penyimpangan untuk memenangkan Paslon yang didukung. Sebagai kepala negara, presiden yang seharusnya bisa memberikan jaminan itu,” katanya.
Oleh karenanya, ia pun mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjadi Kepala Negara yang teladan bagi masyarakat dengan menunjukkan netralitas di pesta demokrasi lima tahunan nanti.
“Oleh karena itu, saya mau ingatkan Pak Jokowi. Pak Presiden, tolong stop dan jangan sampai muncul pelanggaran, penyimpangan, dan ketidaknetralan yang bisa memicu kemarahan rakyat,” ujarnya.
Sumber: kbanews