BeritakanID.com - Sekretaris Departemen IV DPP Partai Demokrat Hasbil Mustaqim Lubis mengatakan, koalisi pemerintah mengisi 471 kursi parlemen atau 81,9% dari total 575 kursi di DPR periode 2019-2024.
Tujuh koalisi partai politik yang mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo- Ma'ruf Amin diantaranya, PDI Perjuangan, Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan PAN.
Komposisi koalisi pemerintah di DPR ini kata dia, menjadi yang terbesar, setidaknya sejak 2004 ketika Bapak SBY masih menjadi Presiden.
“Dengan porsi koalisi parlemen yang gemuk (oversized coalition) tersebut maka arahnya bisa saja cenderung kompromistis terhadap sebuah kepentingan. Kondisi ini tentu membawa sejumlah ancaman penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi pengawasan DPR RI menjadi lemah dan tidak objektif,” ucapnya dalam unggahannya, Jumat, (10/2/2023).
Hal ini kata dia bisa diuji dari fakta yang ada bahwa ada beberapa Rancangan Undang Undang yang kontroversial bisa diloloskan dengan mudah oleh DPR RI menjadi Undang Undang.
Dia mencontohkan 2 RUU yang menurutnya begitu krusial bagi masa depan Indonesia namun tetap diloloskan dengan mudah.
Diantaranya adalah RUU Minerba dan RUU Cipta Kerja. Dimana, di RUU Minerba hanya Partai Demokrat yang menolaknya dan di RUU Cipta Kerja, hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang menolaknya.
Ironisnya lagi kata Hasbil, di era Jokowi satu-satunya hak penyelidikan yang digunakan DPR justru tidak ditujukan pada pemerintah, melainkan pada kinerja KPK. Pansus merekomendasikan perbaikan tata kelola kelembagaan melalui revisi undang-undang KPK.
“Nah fakta fakta diatas telah membenarkan bahwa koalisi gemuk (oversized coalition) justru mengaburkan peran parlemen dalam fungsi pengawasan,” tuturnya.
Dia mengatakan, Analisis Levitzky & Ziblatt masih relevan bahwa absennya peran legislatif dalam mengawasi eksekutif menjadi sebuah gejala lahirnya pemimpin yang demagog.
“Demokrasi Indonesia berjalan mundur,” tandas Kepala BPOKK DPP Insan Muda Demokrat Indonesia ini.
Sumber: fajar