Presiden Dan Pemimpin Partai Beracun Terus Menerus Meracuni Rakyat, Konstitusi Dan Dampak Kompleks Hubungan Dengan Pengikut-pengikutnya

Presiden Dan Pemimpin Partai Beracun Terus Menerus Meracuni Rakyat, Konstitusi Dan Dampak Kompleks Hubungan Dengan Pengikut-pengikutnya

Oleh : Muhammad Yamin Nasution
 
Dr. Eduard Mahirs " Ueber das secht zur Strafe und das Strafe - Maas" (1830) berpendapat BAHWA: Negara adalah persatuan individu-individu yang ada ke dalam komunitas yang tujuan utamanya adalah pelestarian dan ingatan akan dirinya. Tetapi karena kemakmuran dan persemakmuran yang terdiri dari individu-individu ini tidak dapat dianggap bergantung pada kemakmuran individu-individu saja, sangat jelas bahwa kepedulian terhadap kesejahteraan individu tidak dikecualikan oleh negara, bahkan jika kepedulian ini adalah sekunder saja, Individu, dari apapun golongannya, memiliki dorongan, memperjuangkan agar  untuk berpose, dan menolak, bahkan untuk menghancurkan kekuasan pemerintah negara. 

Pernyataan diatas tak obahnya memiliki kesamaan dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001Tentang Etika Kehidupan Berbangsa Pasal 3 yang menyatakan;

"Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa"

Bahwa atas kekhawatiran godaan kekuasan yang dapat menghancurkan negara kedepan karena ingatan sejarah yang masih melekat atas kejadian reformasi 1998, dan anggapan masih perlunya penjabaran lebih spesifik dari UUD-NRI 1945 yang bersifat pemaknaan terbuka (Open Legal Policy) ditetapkanlah Tap MPR 2001 agar pejabat negara, lembaga negara, dan masyarakat perlu kehati-hatian yang lebih besar. Didalam Etika Pemerintahan disebutkan bahwa;

"Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya."

Namun apabila lembaga-lembaga negara tidak dapat mengingatkan presiden dan pemerintah, karena para petinggi lembaga negara terlibat (bersinkronisasi dengan presiden) untuk taat kepada aturan yang lebih bersifat hukum moral (hukum agama) yang diaplikasikan dalam hukum positive UUD-NRI 1945. Maka sudah selayaknya rakyat turun sesuai amanah Pasal 3 TAP MPR-RI tersebut.

PRESIDEN BERACUN DAN HUBUNGAN KOMPLEKS DENGAN PENGIKUT-PENGIKUTNYA.
Toleransi adalah kata yang paling lemah untuk menggambarkan hubungan kompleks antara presiden beracun dengan pengikutnya. Presiden beracun pada mulanya memikat, menarik, tetapi kemudian memanipulasi, melemahkan, menganiaya, dan pada akhirnya akan meninggalkan rakyat dan pengikutnya. Akan tetapi banyak dari pengikut presiden beracun ini yang bertahan, tentunya kita tidak hanya bicara rombongan langsung sang presiden/pemimpin seperti keluarga, staff ahli, pembantu-pembantunya, namun konsituen, dan relawannya yang hanya melihat Presiden beracun dari jendela ruang indah dan gelap kekuasan yang sangat dingin, atau myopia media (rabun jauh media). Yang lebih mengejutkan lagi kelompok - kelompok yang ditugasi untuk menjaga presiden beracun, seperti; petinggi ormas, kepala instansi negara, mereka dibayar dengan uang negara secara terus menerus mengawal dengan cara baik dan buruk, melalui ruang media dimana direksi media yang telah tunduk dibawah kekuasan akan membantu.

Presiden beracun ini akan melahirkan pengikut - pengikut yang lebih buruk darinya. Pengikut presiden beracun tidak sekedar mentolerir, bahkan memuji, bersekongkol, dan pengikut ini akan lebih memilih presiden beracun daripada keluarga, sahabat mereka yang menginginkan kebaikan bersama. Hal itu untuk demi mendapatkan keuntungan pribadi seperti business mereka, karir politik mereka (Jean Lipmann Bluman "The Allure of Toxic Leader" 2006). Presiden ini tidak memiliki efisiensi dalam kepemimpinan, buruk dalam kebijakannya, bahkan dia dapat diminta menjadi sales promotion suatu produk nirlaba perusahaan swasta, dampaknya terburuk adalah hukum berubah menjadi sistem waralaba yang hanya menguntungkan pemilik dan pengurusnya, tentunya tidak akan tercipta suatu keadilan dalam penegakan hukum, dan korupsi merajalela. (Sovereignty Education and Defense Minister AS : Privatization and Corrupt Government 2020). Pemimpin beracun menggunakan cara kasar untuk terus merusak konstitusi yang disepakati secara bersama dalam sebuah negara. Pemimpin beracun akan menggunakan cara-cara populis (Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan "rakyat") berjanji sebanyak-banyaknya, (mensejahterakan rakyat, penegakan hukum yang baik, mengingkan kemajuan, memberikan fasilitas terbaik bagi rakyat), selalu ingin terlihat merakyat, masuk kewilayah-wilayah kumuh dan miskin, faktanya Presiden beracun hanya akan mementingkan diri sendiri dan faksinya seperti yang di contohkan oleh Perdana Mentri Viktor Órban yang Anti Demokrasi (Arsitek Omnibus Law - Rosalind Dixon dan David Landau:  Abusive Constitutional Borrowing:   Legal Globalization and the Subversion of Liberal Democracy -  2021). Istilah pemimpin-pemimpin beracun pertama kali disebutkan oleh ilmuan politik AS, (Dr. Marcia Whicher 1996) yang menyebutkan bahwa jenis pemimpin ini sebagai pengganggu, jahat terhadap pejuang, tidak ingin menyesuaikan diri dan senang menjatuhkan orang lain (pemimpin terdahulu) dan lawan politiknya. Prilaku presiden beracun sangat membuat frustasi, dia akan mengundang teman-temanya memperpanjang jamuan makan siang, namun akan mempesingkat waktu makan lawan politiknya, bahkan tidak begitu peduli makan siang rakyatnya.

Dalam kepemimpinan bernegara atau kepemimpinan lainnya Hukum akan menjadi acuan utama, seperti yang disebutkan oleh (John Maxwell : The 21Irrefutabale Laws of Leadership : Follow Them and People Will Follow You 2007) terapkan hukum, dan orang akan mengikuti anda. Artinya bila seorang pemimpin menerapkan hukum dengan benar maka setiap orang akan turut. 

Hari ini masyarakat Indonesia mendengar pidato Presiden Jokowi di stadion senayan yang mengatakan : ruang istana  sangat dingin, pilih pemimpin jangan suka yang senang turun kelapangan (merakyat), walapun seolah-olah ini mengkampanyekan dirinya, atau orang yang akan dicalonkan partai PDIP kedepan yang inisialnya disebut Presiden Jokowi "rambut putih mengurusi rakyat" yang mayoritas akan mengarah pada Gubernur Ganjar Prabowo.

Menurut John Maxwell Presiden Jokowi salah besar, sebab memilih pemimpin bukanlah apakah seseorang itu suka merakyat atau tidak, melainkan memilih pemimpin harus memiliki pengetahuan luas, dengan pengetahuan luas seorang pemimpin memilki keilmuan yang disebut Maxwell The Law of Lid "Leadership Ability Determines a Person’s Level of Effectiveness" Kemampuan Kepemimpinan Menentukan Tingkat Efektivitas Seseorang. Kemampuan kepemimpinan merupakan penutup yang menentukan tingkat keefektifan seseorang. Semakin rendah kemampuan seseorang untuk memimpin, semakin menurunkan tutup pada potensinya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk memimpin, semakin tinggi tutup potensinya. Sebagai contoh, jika kepemimpinan Anda memberi nilai 8, maka keefektifan Anda tidak akan pernah lebih besar dari 7. Dalam memilih pembantu pemimpin maka pengetahuan ini dibutuhkan, sehingga tugas yang didelegasikan seorang presiden dapat dijalankan kebawah hingga ke rakyat.  Saya berpendapat bahwa kekurangan Presiden Jokowi akan hal pengetahuan ini, sehingga sering kita melihat mentri-mentri bersilang pendapat bahkan terkesan menentang ucapan Presiden. 

Untuk mengantisipasi terpilihnya Presiden beracun yang dapat membuat negara terluka dan pengalaman sejarah bangsa terulang, maka Indonesia mensahkan Tap MPR No VI/2001 tengtang etika berbangsa, yang mengatur tentang politik, ekonomi, pemerintahan, dll demi tujuan kemajuan bangsa. 

(VIVA LA RESISTANCIA INTELECTUALIDAD).

TUTUP
TUTUP