BeritakanID.com - Penyanderaan politik melalui mekanisme hukum tidak dibenarkan dalam konteks teoritis maupun normatif. Karena metode sandera menjadikan tidak adanya keadilan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad yang juga pakar hukum pidana mengatakan untuk mengatasinya, tidak bisa tidak kembali pada perspektif alat bukti dan fakta.
“Kita tentunya berharap proses-proses hukum yang berjalan berdasarkan fakta yang betul-betul nyata, empiris yang artinya itu faktual,” kata Suparji saat berbincang-bincang dengan jurnalis senior dari Forum News Network (FNN) Hersubeno Arief dikutip KBA News, Minggu, 9 Oktober 2022.
Lebih lanjut Suparji memberikan analisis hukumnya dalam bincang-bincang bertajuk ‘Prof Suparji Ahmad: Tak Ada Unsur Pidana, KPK Harus Hentikan Kasus Anies’ tersebut yang tayang di kanal YouTube @Hersubeno Point pada Jumat (7/10).
Menurut Suparji, publik bisa turut serta memberikan sebuah pengawalan dan memandu agar bagaimana proses hukum itu tidak menjadi sandera politik tertentu. Meskipun mobilisasi di publik, kadangkala efektif kadangkala menimbulkan kegaduhan.
“Menurut saya bisa ditempuh. Tapi pada konteks proprosional, misalnya forum eksaminasi, forum uji publik, dan lain sebagainya,” tandasnya seraya menegaskan bukan dalam konteks mengintervensi.
Bagi Suparji, mobilisasi di sini adalah dalam konteks memandu dan mengawal proses penegakan hukum agar semuanya berjalan secara proporsional dalam bingkai hukum bukan dalam bingkai politik.
Mengingat proses perkara Formula E dilakukan oleh lembaga yang berwenang, kata Suparji, maka bisa ditempuh secara proporsional dan elegan melalui proses edukasi eksaminasi publik.
“Supaya tidak dalam koridor sesuai kepentingan kelompok tertentu, tapi harus kembali proporsionalitas rel dalam konteks hukum,” sambungnya.
Suparji saat dihubungi KBA News, Sabtu, 8 Oktober 2022, terkait perkembangan proses hukum Formula E dan sejauh ini masih berkutat dalam tahap penyelidikan, menegaskan KPK harus menghentikan proses hukum Formula E.
“Dari awal menurut saya harus sudah ada kepastian hukum untuk memastikan bahwa yang bersangkutan (Anies Baswedan) memang tidak ada perbuatan-perbuatan melawan hukum,” kata Suparji sebagaimana dijelaskan di kanal YouTube @Hersubeno Point.
“KPK yang punya otoritas untuk menindaklanjut atau menghentikan perkara (Formula E) tersebut,” sambungnya.
Jadi demi proses politik yang sedang berjalan dan kemudian tidak tersandera oleh masalah-masalah hukum, menurut Suparji sudah cukup evaluasi gelar perkara untuk memastikan bahwasannya tidak ada peristiwa pidana dalam perhelatan Formula E.
“Maka demi kepastian hukum, demi kemanfaatan, demi keadilan sebaiknya diambil langkah-langkah tegas bahwa ini dihentikan karena tidak ada peristiwa pidana,” tandasnya.
Suparji menegaskan, jangan sampai kemudian ini berlarut-larut misalnya sampai pemilihan presiden, menjelang pelantikan presiden ada satu proses hukum yang tiba-tiba muncul. Menjadi sesuatu langkah-langkah yang tidak memberi kepastian hukum dan tidak proporsional.
“Saya kira sudah cukup jelas dan cukup bukti kan untuk mengambil sebuah keputusan ini ada peristiwa pidananya atau tidak. Kalau tdak ada, seperti kasus-kasus lain saya kira laporan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti atau ditingkatkan pada tahap penyidikan,” tandasnya.
Beberapa kali gelar perkara dan tidak ada kesepakatan ada unsur pidana, menurut Suparji itu memberikan sebuah refleksi ketidakmudahan mengambil sebuah keputusan dan tidak ada fakta-fakta baru dan alat bukti baru yang mungkin ditemukan.
“Saya kira sudah cukup tuntas dan kompehensif. Kalau kita cermati dari proses-proses hukum yang berjalan sesungguhnuya ini sudah cukup alasan untuk mengambil sebuah keputusan,” tandasnya.
Maka ketika sudah tiga kali gelar perkara, dipertanyakan lagi akan ada tahapan apalagi. Apakah menunggu audit dari BPK, kemudian ambil saksi-saksi yang lain, dan sebagainya.
Dalam hemat Suparji, untuk membangun penegakan hukum yang betul-betul murni, tidak ada nuansa politik akan lebih baik memberikan sebuah keputusan pengakhiran dari penanganan perkara Formula E.
“Selain ada kepastian hukum, maka ada nilai keadilan sekaligus kemanfaatan. Itulah mestinya nilai-nilai yang terimplementasi dalam setiap proses penegakan hukum,” tambahnya.
Menurut Suparji, secara normatif KPK adalah lembaga independen baik etis maupun struktural. Secara etis pribadi dan kelembagaan harus bebas karena tidak dalam posisi subordinat secara langsung.
“(Komisioner KPK) dipilih oleh timsel, DPR. Ini kan merepsentasikan pilihan rakyat yang meskipun secara administrasi dilantik dan disahkan oleh Presiden,” imbuhnya.
Melihat konfigurasi seperti itu, maka mestinya KPK mampu bekerja secara independen dan bebas dari intervensi siapa pun. “Dilihat dari semangat pembentukannya, lembaga manapun tidak boleh mengintervensi,” jelas Suparji.
Tendensi Politik
Ranah KPK bicara di wilayah hukum tidak di wilayah politik. Tetapi manakala ada intensi atau tendensi politik, apa yang bisa dilakukan dengan situasi semacam ini?
Ditegaskan Suparji, hukum itu adalah suatu proses yang berjalan secara independen, profesional, dan berintegritas. Intensi atau kepentingan-kepentingan politik tidak boleh mempengaruhi di dalam proses penegakan hukum.
Oleh karena itu, narasi-narasi yang dibangun komisiner KPK mestinya tetap bekerja sesuai dengan fakta berkaitan dengan alat bukti dan tidak terpengaruh adanya dinamika politik.
“Mestinya profesional saja, biarlah politik berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks hukum, kalau secara alat bukti tidak ada indikasi atau unsur peristiwa pidana, maka kemudian dihentikan. (Terlepas) dicalonkan (capres) atau tidak dicalonkan,” tegasnya.
Menurut Suparji, KPK harus kembali lagi pada khittah-nya sebagaimana dilahirkan dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, sebagai alat independen yang pada mulanya untuk membangun kredibilitas.
“Sebagai institusi yang memiliki kekuasaan cukup kuat dalam konteks penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan, maka jangan sia-siakan. Bangunlah sebuah legacy bahwa KPK pada periode ini bekerja secara profesional dan independen, meskipun berada dalam tahun-tahun politik,” harapnya.
Tetapi sekali lagi, lanjut Suparji, KPK ini adalah lembaga hukum. Ia pun berharap civil society, Dewan Pengawas KPK, pegiat antikorupsi, akademi, legislator sudah semestinya juga turut menjaga marwah dari KPK.
“Kalau marwah tercederai tentu akan memberikan dampak kurang positif dalam proses pemberantasan korupsi. Bisa saja kemudian asumsi, sinyalemen bahwa (KPK) menjadi alat-alat tertentu kemudian terkonfirmasi. Sesungguhnya itu adalah sangat-sangat harus kita hindari,” demikian Suparji.
Sumber: kba