BeritakanID.com - Praktisi hukum Nursyahbani Katjasungkana berpendapat bahwa secara hukum jika memang tidak ada bukti permulaan yang cukup, kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan Formula E harus dihentikan atau SP3.
“Penyidik sudah menyatakan tidak ada bukti, lalu profesor ahli pidana yang diminta pendapatnya juga mengatakan tidak ada bukti. Maksimal hanya kesalahan administrasi dan tidak ada uang negara yang dirugikan sehingga tidak ada dasar untuk melanjutkan. Ini perspektif hukumnya,” kata Nursyahbani yang dihubungi KBA News sedang berada di London sebagai hakim Iran People’s Tribunal, Minggu 2 Oktober 2022.
Menurut Narsyahbani, kasus ini banyak politisnya. Sejak awal direncanakan terutama partai-partai yang tidak suka kepada Anies Baswedan termasuk Ketua DPRD Jakarta, terus nyinyir soal Formula E.
“Padahal jelas itu bagian dari upaya mengkampanyekan mobil listrik untuk mengurangi emisi karena polusi di Jakarta sudah intolerable. Pesan yang ingin disampaikan cukup jelas,” ujar dia.
Yang lebih kontekstual lagi, lanjut dia, berkaitan dengan pencapresan 2024. Nama Anies Baswedan adalah salah satu yang diunggulkan selain Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Puan Maharani, dan sebagainya.
“Nah dalam kaitan itu, Ketua KPK ikut main di dalamnya dengan menggunakan kewenangan dan kekuasaannya menetapkan seseorang sebagai tersangka. Kita tahu jika seseorang menjadi tersangka, maka tak bisa menjadi calon presiden. Inilah yang sedang dimainkan Firli. Entah siapa orang di balik perilakunya yang melanggar hukum itu. Dia memaksakan kehendaknya untuk menetapkan Anies sebagai tersangka dalam rangka menjegal Anies agar tak ikut nyapres,” tutur Nursyahbani.
Nursyahbani memandang bahwa Ketua KPK yang sekarang ini memang parah karena sudah melanggar prinsip dasar dan latar belakang pendiriannya. Di satu sisi, Polri sedang menggantikan aparat penegak hukum yang korup dan brutal seperti yang ditunjukkan dan bisa dilihat dengan mata telanjang dalam kasus Sambo.
“Ehh kok malah KPK diisi dengan aparat-aparat hukum yang karakter dasarnya enggak berubah yaitu korup setidaknya mentally corrupt atau moral hazard. Mau dibawa kemana KPK kalau diisi orang-orang seperti Firli yang adalah polisi dan juga penyidik-penyidiknya dari polisi. Jaksa juga yang enggak independent dan tidak profesional. Mending tidak usah ada KPK saja. Lha KPK dibentuk terutama untuk menghabisi aparat penegak hukum yang korup, kok malah diisi orang dari kepolisian?” beber dia.
Menurut Nursyahbani, bahaya sekali jika KPK dijadikan alat politik kelompok politik tertentu untuk memberangus dan menekan lawan politiknya.
“Bisa juga Firli melakukan semacam test the water, apakah publik akan marah atau enggak dengan cara-cara yang dia lakukan. Apalagi dengan mengumbar hasil penyelidikan dan pemaksaan terhadap proses-proses hukumnya: ya jelas marah lah,” katanya. (*)