Bukan Isu Agama, Anies Menang Karena Wong Cilik Kecewa Digusur Ahok

Bukan Isu Agama, Anies Menang Karena Wong Cilik Kecewa Digusur Ahok

BeritakanID.com - Co-founder Total Politik, Arie Putra, mengulas buku terbaru peneliti CSIS Edbert Gani Suryahudaya berjudul Tidak Perlu Ratu Adil. Ada beberapa poin yang menarik bagi dia dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan yang telah dimuat di berbagai media nasional tersebut sebelumnya.

“Ada beberapa poin yang menurut gue sangat menarik. Yaitu soal politik identitas,” jelas Arie Putra dalam ulasannya bertema “Bukan 212 Yang Antarkan Anies Jadi Gubernur? Mempertanyakan Ulang Politik Identitas di kanal Youtube Total Politik, dikutip KBA News, Sabtu, 6 Agustus 2022.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu mendapat sorotan luas secara nasional karena diwarnai isu-isu keagamaan. Bermula dari ucapan Basuki T. Purnama, Gubernur saat itu yang kemudian maju sebagai calon, terkait Al Maidah 51. Ucapan Ahok ini lalu mengundang reaksi keras dari umat Islam hingga melahirkan berbagai aksi besar-besaran. Isu keagamaan ini dianggap yang mempengaruhi kemenangan Anies.

“Tapi temuan Gani di sini mengatakan lain. Bahwa bukan gerakan keagamaan yang mempengaruhi, yang menjadi faktor penentu utama dalam kemenangan Gubernur DKI saat ini, yaitu Bapak Anies Baswedan,” ungkapnya.

“Dalam temuan itu Gani memperlihatkan bahwa kantong-kantong suara Jokowi-Ahok di 2012 di beberapa wilayah itu mengalami perpindahan terutama daerah-daerah yang menjadi korban gusuran,” sambungnya.

Arie menjelaskan, temuan Edbert Gani ini mirip dengan apa yang juga dikemukakan oleh Ian Wilson. Menurut Indonesianis dari Murdoch University, Australia ini, kemenangan Anies Baswedan pada saat itu tidak lepas dari adanya gerakan arus bawah.

Gerakan orang-orang yang termajinalkan oleh kebijakan-kebijakan Ahok ketika menjadi gubernur lewat penggusuran dan lain-lain. Sementara PDIP yang waktu itu mendukung Ahok tidak bisa lagi dijadikan wadah politk bagi kaum wong cilik. Karena PDIP mendukung orang yang menggusur wong cilik.

“Kira-kira Ian Wilson punya penjelasan agak bernada seperti itu,” paparnya.

Saat itu, dia juga menulis Menguji Rasionalis Pemilih Jakarta di Koran Tempo edisi 27 Februari 2017.
“Ketika itu saya melihat bahwa peta elektoral DKI Jakarta jauh hari sebelum Pilkada DKI diadakan, memperlihatkan bahwa elektabilitas Gubernur DKI saat itu Pak Ahok, tidak naik-naik banget,” ungkapnya.

Peta dukungan kala itu, dia membeberkan, 40, 30, 30. Sebanyak 40 persen pendukung militan Ahok. Sementara 30 persen swing voters, dan 30 persen lagi anti Ahok. Kisaran elektabilitas Ahok ini terbukti dengan hasil Pilgub DKI.

“Dan itu terbukti dari hasil pilkada Pak Ahok tidak jauh-jauh banget dari 40 persen,” imbuhnya.

Terkait hal itulah, dia menyimpulkan, kebijakan yang menyasar kelompok kelas bawah yang pada akhirnya menentukan pilihan-pilihan politik.

Sementara buku Edbert Gani tersebut, menurutnya, juga memberikan perspektif lain untuk melihat apakah isu yang muncul di media serta merta merupakan permasalahan yang fundamental bagi masyarakat di akar rumput.

Seperti di Amerika Serikat pada masa Donald Trump, dia menjelaskan, isu politik identitas mencuat di permukaan sementara ada persoalan lain yang lebih fundamental yang dirasakan masyarakat.

“Inilah yang perlu dilihat, bagaimana pengambil kebijakan juga harus memiliki perpsektif di dalam melihat kebijakan-kebijakan tertentu (apakah) akan memberikan dampak lebih besar dan lebih berpengaruh pada kelompok kelas bawah yang lemah dan termarjinalkan. Dan kebijakan-kebijakan publik ini tidak menghadirkan keadilan. Sehingga mereka ikut di dalam berbagai macam sentimen populism dalam pertarungan elektoral,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui hasil Pilkada DKI Putaran kedua, Ahok-Djarot 42.05 persen. Sementara Anies-Sandi 57.95 persen. Sedangkan pada putaran pertama, AHY-Sylvi 17,02 persen, Ahok-Djarot 42,99 persen dan Anies-Sandi 39,95 persen.

Sumber: kba

TUTUP
TUTUP